Kasus Penggelapan Mobil Ferrari Dipaksakan Mafia Peradilan di PN Jakbar?

oleh -3,581 views
oleh
Pengadilan Negeri Jakarta Barat.

INDIKASINews, Jakarta — Proses persidangan dengan terdakwa Iwan Cendekia Liman di Pengadilan Negeri Jakarta Barat yang telah diputus terindikasi sarat akan kejanggalan dan terkesan dipaksakan serta dikendalikan oleh mafia peradilan.
Iwan Cendekia Liman yang didakwa melakukan tindak pidana penggelapan sesuai pasal 372 KUHP atas kepemilikan sebuah mobil Ferrari 458 Speciale berdasarkan laporan Rezky Herbiyono. Dimana mobil tersebut dibeli dari pihak leasing PT. Mitsui berdasarkan penawaran resmi dari pihak PT. Mitsui karena Rizky Herbiyono sebagai debitur telah gagal memenuhi kewajibannya untuk melunasi down payment mobil tersebut. Oleh karena itu sebagai pihak penerima fidusia, PT. Mitsui menawarkan mobil tersebut kepada Iwan Cendekia Liman dengan status unit tarikan.

Namun setelah melakukan pelunasan cicilan mobil tersebut sebesar Rp 10,2 dan telah mendapatkan BPKB dan STNK mobil tersebut, Rezky Herbiyono kemudian melaporkan Iwan Cendekia Liman ke Polisi atas tuduhan penggelapan.

Laporan polisi yang dibuat oleh Rizky Herbiyono terhadap Iwan Cendekia Liman  ini tentu saja merupakan sebuah bentuk kezaliman karena posisi Iwan sebenarnya adalah penerima pengalihan hak fidusia dari PT. Mitsui sebagai penerima fidusia.

Namun laporan ini tetap dilanjutkan oleh kepolisian, dimana Iwan Cendikia Liman langsung ditetapkan menjadi tersangka sampai berkas dinyatakan P21 dan diserahkan ke Kejaksaan.

Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Barat kemudian mendakwa Iwan Cendekia Liman dengan Surat Dakwaan No : PDM-323/Jkt.Brt/07/2017 yang dibacakan pada 20 Juli 2017. Sedangkan pelimpahan berkas perkara dilakukan oleh Kejaksaan Negeri Jakarta Barat ke Pengadilan Negeri Jakarta Barat baru dilakukan pada tanggal 25 Juli 2017 melalui surat No. TAR-12830/)0.1.12/EP.1/07/2017. Artinya Dakwaan dibacakan sebelum pelimpahan berkas perkara dilakukan sehingga surat
dakwaan yang mengandung cacat substansi dan kabur (obscuur) serta tidak sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 143 Ayat (2) huruf b jo. Surat Edaran Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor : SE-004/J.A/11/1993 Tentang Pembuatan Surat Dakwaan.

Oleh karena itu, Surat Dakwaan JPU tersebut yang tidak cermat dalam penulisan tanggal serta penguraian tindak pidana serta unsur-unsur pasal yang didakwakan (instrument delicti) sudah seharusnya dinyatakan sebagai Surat Dakwaan yang tidak memenuhi syarat dan konsekuensinya batal demi hukum.

Hal tersebut juga sebagaimana diatur dalam kaidah yurisprudensi dalam Putusan Mahkamah Agung R.I. No. 808/K/Pid/1984 yang menyatakan : Dakwaan tidak cermat, jelas dan lengkap sehingga harus dinyatakan batal demi hukum.

Kejanggalan lainnya terjadi pada saat Pengadilan Negeri Jakarta barat tidak memberikan terdakwa kesempatan untuk melakukan pembelaan (pleidooi) seperti lazimnya proses dalam peradilan pidana yaitu pada persidangan setelah pembacaan tuntutan JPU.

Yang terjadi terdakwa malah dipaksa untuk menyusun pembelaan di hari yang sama dengan hari persidangan pembacaan tuntutan yaitu tanggal 16 Oktober 2017.

Bahkan di hari yang sama dengan pembacaan requisitoir dan pleidooi, yaitu tanggal 16 Oktober 2017, Majelis Hakim membacakan putusannya. Hal tersebut tidak memcerminkan persidangan yang adil karena pembacaan tuntutan, pembelaan serta putusan semua dilakukan dalam satu hari yaitu pada tanggal 16 Oktober 2017.

Keseluruhan proses tersebut juga mengindikasikan bahwa praktek mafia peradilan masih terjadi di lembaga peradilan di Indonesia. Hal yang tentu saja tidak sesuai dengan cita-cita reformasi serta cita-cita penegakan hukum saat ini.

Pihak keluarga terdakwa saat ini masih berupaya untuk menempuh jalur hukum memperjuangkan hak terdakwa yang senyatanya adalah korban.

Penulis: MW-IN
Editor: Red

Loading...

No More Posts Available.

No more pages to load.