INDIKASINews, Jakarta — Implementasi Industri 4.0 akan membawa beberapa perubahan paradigma, baik itu cara bekerja, proses manufaktur, keterampilan sumber daya manusia yang dibutuhkan, maupun cara konsumsi. Untuk itu, melalui peta jalan Making Indonesia 4.0, Indonesia telah menetapkan sejumlah strategi agar siap dan mampu menghadapi dampak dari revolusi industri keempat tersebut.
“Pada prinsipnya, memasuki era revolusi industri keempat, perubahan yang dibawa adalah peningkatan efisiensi yang setinggi-tingginya di tiap tahapan rantai nilai proses industri,” kata Menteri Perindustrian Airlangga Hartarto ketika menjadi narasumber pada diskusi Forum Merdeka Barat 9 di Jakarta, Senin (16/4).
Menurut Menperin, setiap tahapan manufaktur di era digital saat ini, harus menghasilkan nilai tambah yang tinggi. “Jika tidak, maka tahapan tersebut harus dihilangkan. Sehingga di era Industri 4.0 memiliki rantai nilai yang seramping-rampingnya dengan peningkatan nilai tambah produk yang setinggi-tingginya dan dengan kualitas yang lebih baik,” tuturnya.
Dalam setiap tahapan revolusi indutri mulai dari yang pertama hingga saat ini memiliki tantangan dan dampak berbeda. Revolusi industri pertama pada abad ke-18, ditandai dengan penemuan mesin uap untuk upaya peningkatkan produktivitas yang bernilai tambah tinggi. Misalnya di Inggris, saat itu, perusahaan tenun menggunakan mesin uap untuk menghasilkan produk tekstil.
“Tetapi di Indonesia, saat ini masih ada yang menggunakan alat tenun bukan mesin (ATBM). Selain itu, di perusahaan rokok kretek, masih menggunakan mesin lintingan tangan. Jadi, semua itu menggunakan teknologiyang bersifat padat karya. Pemerintah mempunyai keberpihakan untuk melindungi teknologi tersebut, terutama untuk menyerap tenaga kerja,” paparnya.