Jakarta, INDIKASI News — Undang-Undang (UU) No.8/2015 tentang Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) tidak mengatur persyaratan pencalonan kepala daerah (KDH) oleh partai politik (parpol) maupun perorangan (independent) dalam Pilkada serentak yang akan dilaksanakan pada akhir tahun ini dapat mengusung mantan narapidana koruptor, pengedar narkoba, pembunuh, pemerkosa, penyeludup, pelanggar HAM, pelaku gerakan separatis, dan teroris, yang sudah menjalani hukuman pidana selama lima tahun atau lebih.
Hal itu dikarenakan UU Pilkada sudah disesuaikan dengan putusan Mahkamah Konstitusi (MK) melalui amar putusan MK Nomor 4/PUU/7/2009 yang berisi telah menganulir UU No.10/2008 tentang Pemilu Legislatif, Pasal 51 huruf g dan Pasal 50 ayat 1 huruf g dan revisi UU No.12/2008 tentang Pemerinatahan Daerah Pasal 58 huruf f. Pasal-pasal itu menyebutkan seorang caleg atau calon kepala daerah harus memenuhi syarat ‘tidak pernah dijatuhi hukuman pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih’.
MK memutuskan ketiga pasal itu conditionally unconstitutional atau inkonstitusional bersyarat. Artinya, ketentuan tersebut dinyatakan inkonstitusional bila tak memenuhi empat syarat yang ditetapkan MK dalam putusannya, yakni, (i) tak berlaku untuk jabatan publik yang dipilih (elected officials), (ii) berlaku terbatas jangka waktunya hanya selama lima tahun sejak terpidana selesai menjalani hukumannya, (iii) dikecualikan bagi mantan terpidana yang secara terbuka dan jujur mengemukakan kepada publik bahwa yang bersangkutan mantan terpidana, (iv) bukan sebagai pelaku kejahatan yang berulang-ulang.
Demikian dikatakan oleh Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Nasional Demokrat (FNasDem), Syarif Abdullah Al Kadrie, Jumat (27/3/15). “Memang itu (mantan narapidana) tidak diatur dalam UU Pilkada, tapi MK sudah memutuskan bahwa seseorang setelah lima tahun jalani hukuman pidana, itu tetap boleh ikut Pilkada selama hak politiknya tidak dicabut,” kata Syarif Abdullah.
Sekretaris FNasDem di DPR ini mengkui, mantan narapidana maju dalam Pilkada merugikan pemilih karena adanya persepsi atau stigma negatif terhadap mantan narapidana tersebut, tetapi hak politik seseorang harus dijamin untuk dipilih dan memilih. “Ini diserahkan kepada masyarakat apakah mau memilih calon KDH mantan narapidana ini. Tetapi saya yakin masyarakat sudah pintar dalam berpolitik maka tidak akan salah memilihnya,” ujarnya.
Sementara itu, Anggota Komisi II DPR dari Fraksi Partai Hanura (FHanura), Rufinus Hotmaulana Hutauruk mengungkapkan, sebenarnya seseorang yang divonis hukuman pidana lima tahun namun dinyatakan bebas bersyarat atau menjadi tahanan luar ketika baru menjalani hukuman pidana dibawah lima tahun, seseorang tersebut tetap bisa mencalonkan diri sebagai KDH. “Ini sudah saya usulkan pada pembahasan revisi UU Pilkada, tetapi tidak didengarkan. Padahal ini norma hukum baru yang tidak bisa diatur melalui PKPU yang sifatnya untuk menutupi kekurangan dalam UU Pilkada,” ungkap Rufinus.
Advokat senior ini mengakui, MK sudah memutuskan bahwa seseorang yang sudah menjalani hukuman pidana setelah lima tahun dapat mengikuti Pilkada. Namun, tambahnya, filosofi pemimpin adalah harus bersih dari berbagai kasus maupun track record buruk di masa lalunya, karena hal ini tentunya akan berpengaruh terhadap pencalonan seseorang dalam Pilkada.
“Ini juga sudah diatur dalam UU Pilkada bahwa persyaratan calon KDH tidak memiliki sifat tercela yang bisa diartikan tidak pernah tersangkut masalah pidana yang disesuaikan dengan putusan MK,” katanya.
Koruptor Dikecualikan
Pengamat Kepemiluan, Ray Rangkuti juga mengakui mantan narapidana semua kasus setelah menjalani hukuman pidana selama lima tahun diperbolehkan mencalonkan diri sebagai KDH. Karena, lanjutnya, putusan MK pada prinsipnya menyebutkan seseorang yang pernah melakukan tindakan hukum, hak politiknya tidak boleh dicabut.
“Tetapi kalau koruptor itu hak politiknya harusnya dicabut, tidak boleh diperlakukan biasa. Oleh karena, sanksinya itu harus berat karena koruptor itu tidak pernah merasa bersalah,
” kata Ray Rangkuti.
Ray menambahkan, panggung politik dalam hal ini Pemilu maupun Pilkada jangan sampai dimanfaatkan oleh para mantan koruptor untuk membersihkan masa lalunya. Sehingga, dia mengharapkan ke depan para koruptor ini dihukum seberat-beratnya. “Itu putusan MK tidak bisa diotak-atik. Tapi setidaknya, koruptor harus di hukum berat,” harapnya. (sht)
Menyukai ini:
Suka Memuat...